"Tumor otak nak. Rahim Ibu bermasalah ketika Izzuddin dalam kandungan. Kata dokter itu penyebabnya. Setelah Izzuddin lahir, rahim ibu diangkat. Itu kenapa Izzuddin jadi anak tunggal kami. Kami sudah berobat ke banyak tempat. Operasipun hampir percuma. Selain biaya yang mahal, operasipun ga bisa menyembuhkan Izzuddin sepenuhnya." Cerita ibunya.
"Mengenai tubuh saya yang tiba-tiba kram, bahkan kaku tiba-tiba. Sewaktu kecil saya pernah terjatuh, sehingga merusak salah satu syaraf motorik saya. Makanya, sewaktu-waktu bagian tubuh saya bisa kaku mendadak. Seperti patung, sulit bergerak dan berat rasanya." Izzuddin masih terbaring lemah di tempat tidurnya. "Makanya kak, kalo kakak liat saya tiba-tiba pingsan, ga usah dibawa ke Rumah Sakit. Ke rumah aja." Lanjutnya.
Masih lekat kata-kata keluarga kecil itu mengenai kondisi Izzuddin. Anak baik yang cukup berprestasi. Memang tidak juara kelas, tapi untuk anak yang bekerja disela waktu belajarnya, Azzam salut. Beberapa kali Azzam melihat Izzuddin jatuh pingsan. Tubuhnya makin kurus digerogoti penyakit. Ingin rasanya membantu. Tapi, bagi Azzam yang masih kuliah dan makan dari kantong orang tua, bisa apa? Azzam mengumpat membodohi diri sendiri. Kondisi dia yang terbilang cukup, masih banyak menuntut dari orang tua. Diluar sana, masih banyak orang yang kekurangan, bekerja demi kelangsungan hidup di usia yang masih muda, setidaknya Izzuddin.
Izzuddin berpesan ke Azzam untuk tidak memberi tahu kondisinya ke orang lain ketika Azzam menawarkan bantuan melalui dinas sosial di kampusnya. Tapi Izzuddin bersikeras.
Pikirannya menerawang jauh di atas motor maticnya. Sejak dia dipinjami motor oleh Ummi, tak pernah sekalipun bertemu Izzuddin. Kuliah dan mata kuliah kerja prakteknya banyak menyita waktunya. Sampai ketika dia teringat Izzuddin, Azzam kembali naik kereta pagi. Berharap bertemu Izzuddin lagi pagi itu. Tapi, ketika malam menjelang, Izzuddinpun tak terlihat.
Azzam yakin Izzuddin sudah lulus dari SMPnya. Masa Ujian Nasional sudah lewat. Pasti anak sepintar Izzuddin lulus dengan hasil yang memuaskan. Setidaknya hanya luluslah yang Izzuddin harap.
"Aku ga punya cita-cita kak. Ga berani bercita-cita. Aku tahu kemampuan ekonomi keluargaku. Aku mau lulus SMP, kerja di tempat yang layak dengan gaji yang lebih baik dari penghasilan ngasong." Cerita Izzuddin suatu waktu ketika Azzam bertanya tentang cita-cita. Mungkin Izzuddin saat ini sudah mendapat pekerjaan yang layak dengan ijazah SMPnya.
***
Azzam memacu laju motornya menyusuri jalan Lenteng Agung. Sudah lama ia ingin bertemu Izzuddin. Rindu. Lagi-lagi ada perasaan aneh yang menghinggapinya. Perasaan yang lebih dalam daripada saat pertama kali mata Azzam mendapati tubuh kurus Izzuddin di kereta pagi.
"Assalamu'alaikum." Sapa Azzam di pintu masuk sebuah rumah mungil dengan cat yang sudah memudar. Seorang bapak yang sudah tak asing bagi Azzam mempersilahkan masuk dan mengantarnya ke sebuah kasur tipis.
Sesosok tubuh kurus tergeletak diatasnya. Kondisinya parah. Tubuhnya kurus seperti tulang yang berbalut kulit saja. Izzuddin koma. Nafasnya masih ada tapi panca inderanya seperti tak berfungsi. Bibirnya tersenyum saat Azzam datang. Matanya mengeluarkan butiran air ketika Azzam mengaji di dekatnya.
***
"Surat miskin ini hanya bisa membantu menggratiskan biaya operasi dan obat saja nak Azzam. Tapi rawat inap dan kebutuhan lainnya tidak ditanggung. Bapak tidak punya uang sebanyak itu." Bapak tampak tegar. Tapi Azzam tahu bebannya berat. Izzuddin anak semata wayangnya, satu-satunya generasi penerus beliau.
Tujuh juta lagi, kemana harus mencari? Azzam berfikir keras. Ummi dan ayah baru-baru ini mengeluarkan banyak uang untuk kuliahnya. Jumlahnya tidak sedikit. Kakak-kakaknya juga dia yakin tidak punya uang sebanyak itu.
Dia termenung di bangku rumah sakit. Bapak sudah pasti berusaha mencari pinjaman sebanyak itu. Kurang dari setengah biaya rumah sakit yang bisa dia dapat. Tujuh juta sisanya. Baru-baru ini dia kecopetan. Handphonenya hilang. Tidak ada satupun nomor yang bisa dia hubungi untuk membantu.
Teringat dia pada sesosok pria. Anak underground. Azzam yang supel bisa berbaur dengan kelompok itu sempat beberapa kali ikut touring. Azzam hanya bisa berharap darinya. Soal bagaimana mahasiswa kerja praktek itu mengganti, urusan belakangan. Nyawa Izzuddin prioritas buatnya.
***
Hari itu Izzuddin menghembuskan nafas terakhirnya. Bapak dan Ibu terpukul tapi mereka cukup tegar kehilangan anak semata wayangnya.
Sepulang dari pemakaman, tampak berat beban Bapak. Kehilangan anak semata wayang dan menumpuk banyak hutang. Yang bisa Azzam lakukan hanya membesarkan hati Bapak untuk tak memikirkan hutang. Azzam sudah menyicil beberapa rupiah untuk membayar banyak hutangnya.
Malam itu, Azzam memacu motornya menuju bilangan Kemang. Memarkir motor maticnya dan mengganti baju kokonya dengan seragam biru. Siap dengan peluit nyaringnya. Menjalani realita dan kerasnya kehidupan menjadi tukang parkir. Cukup menangisi Izzuddin. Berdoa yang terbaik untuknya.
Nb: Kisah nyata pertemuan adik saya dengan seorang anak di kereta bernama Izzuddin Al-Qassam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar