11 Februari 2013

Anak Kereta (Part Final)

Aku melirik jam dinding di ruang tamu. Pukul 00.17 menit. Ummi tampak gusar Azzam belum pulang. Aku duduk di kursi ruang tamu sambil meneguk air mineral. Aku menemani Ummi malam itu menunggu Azzam pulang. Sejak dia 'dipinjami' motor, dia memang sering pulang larut. Sebelumnya, Azzam selalu mengeluh dengan aktifitasnya yang lumayan padat. Kuliah dan kegiatan organisasinya. Belum lagi bulan depan dia mulai magang untuk tugas kuliah di bilangan Jalan Raya Bogor.

"Dikasih motor bukan pulang lebih awal malah pulang malem terus." Omel Ummi.

Tak lama, suara motor khas matic yang menderu keras berhenti di depan rumah. Itu pasti Azzam, batinku. Ummi mengintip dari balik gorden memastikan dia benar anak keempatnya.

"Aku cape Mi, abis besuk temen yang sakit. Ko,, kondisinya parah, masuk Rumah Sakit." Sahutnya setelah Ummi mulai 'berceramah'. Dia memang agak sedikit gagap di saat tertentu; seperti tertekan, gugup, emosi, dan lelah.

Sejak kedua amandel Azzam dioperasi, dia sering gagap jika berbicara. Ditambah lagi dia mengalami flu berkepanjangan yang tak pernah sembuh. Seperti selalu ada lendir di selaput hidungnya, kisahnya suatu kali. Soal daya tahan tubuh, sudah pasti lemah. Ga jarang di drop karena lelah.


***

"Azzam ga pacaran Mi. Sejak Ummi ngelarang Azzam pacaran, Azzam dan dia putus. Azzam janji ke dia kalo udah kerja mau kumpulin uang untuk segera nikah sama dia. Tapi saat ini Azzam butuh dia untuk suatu hal. Azzam bisa jamin kalo Azzam dan dia ga ada hubungan apapun." Jelasnya. Matanya merah menahan amarah yang akan meledak.

"Mi, diluar sana ada orang yang butuh Azzam. Azzam cuma minta ga dicurigai macem-macem aja." Air matanya mulai menetes. Aku tahu ada beban yang tak kumengerti yang dia pikul. Sepertinya dia tak ingin membaginya dengan siapapun. Termasuk keluarganya.


***

Pelan tapi pasti Ummi bisa mendapatkan banyak informasi dari Azzam. Kemana dia selama ini dan apa yang dia kerjakan. Berawal dari pertemuan singkatnya dengan seorang pedagang. Berakhir dengan terpukulnya Azzam kehilangan sahabat barunya itu.

Izzuddin Al-Qassam yang aku yakin sudah tenang di alam sana. Yang bisa jadi pelajaran hidup yang sangat berarti untuk Azzam. Seorang anak mandiri yang cukup berprestasi. Anak pengidap tumor otak yang memiliki masalah dengan syaraf motoriknya. Hidup di tengah keluarga dengan kemampuan ekonomi jauh dibawah tingkat menengah. Anak tunggal yang tak pernah menyusahkan orang tua dikala penyakitnya kambuh, kerap memilih mengurung diri di kamar dan menutup mulutnya dari erangan sakitnya.

Terakhir kali Azzam mendengar kabar dari temannya sesama pedagang asongan bahwa Izzuddin sudah bekerja selepas SMP. Tak lama dia bekerja, dia mengalami koma yang cukup lama. Sendirian Azzam mengurus surat keringanan untuk rumah sakit. Membesarkan hati orang tua yang banting tulang mencari biaya rawat inap sang buah hati.


***

Malam hari, sepulang kerja magangnya, Azzam memacu Mio-nya ke Cakung. Bertemu dengan seseorang anggota perkumpulan underground yang kerap melakukan touring. Azzam memang sudah beberapa bulan sejak menunggangi Mio ikut bersama sebuah perkumpulan tersebut. Adikku ini memang supel, jadi tak heran dia memiliki banyak teman.

Tujuan Azzam kali ini tentu saja bukan untuk touring. Untuk meminjam uang demi biaya pengobatan sabatnya yang lain.

Azzam kembali mendatangi orang tua dari mantan pacarnya. Niatnya kali ini bukan untuk ngapel. Untuk minta pekerjaan. Si Bapak merupakan seorang tukang parkir di bilangan Kemang. Jelas penghasilannya jadi terbagi dua demi membantu Azzam mendapat pekerjaan untuk membayar hutangnya.

Terakhir ketika dia kembali ke rumah orang tua Izzuddin, mereka sudah pindah ke Kendari. Menitip pesan ke tetangga jika Azzam kembali, minta maaf atas hutang mereka untuk biaya pengobatan Izzuddin. Mereka tidak punya telepon selular sehingga kesulitan menghubungi Azzam. Mereka berjanji untuk membayar hutang ketika sudah mampu untuk membayarnya.


***

Air mata mulai menggantung di pelupuk mata. Salahku memandang Azzam sebelah mata. Salahku tak peka dia sudah banyak berubah. Kepergian Izzuddin telah menjadikannya lebih dewasa dengan tak lagi banyak merengek dan menuntut banyak hal.

"Hutangku tinggal 1,5 juta lagi. Temen yang ngasih pinjeman duit itu udah mengikhlaskan 600 ribu. Jadi, sisa 900 ribu lagi. Alhamdulillah deh." Dia mengakhiri cerita Izzuddin Al-Qassam malam itu.

Aku meraih dompet cokelatku. Memberi beberapa lembar uang lima puluh ribu. Bermaksud meringankan beban hutangnya. Dia mengambil 2 lembar seraya berkata,

"Anggep aja ini upahku nganter kakak sebulan. Ingetin Azzam tiap pagi ya buat nganter. Kalo jemput sore lewat dari maghrib ga bisa, karena ba'da maghrib harus ke depok ngerjain TA."

Sejak itu Azzam jadi 'ojeg' pribadi saya. Dan saya salut sama dia. Setelah terima uang dari saya, Azzam bener-bener komitmen mengantar saya kemanapun. Bahkan ketika dia pusing karena kehujanan. Tapi, karena saya ga tega, saya berangkat naik kopaja, as usual :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar