Beruntung Azzam, mahasiswa tingkat dua itu dapat kereta pukul 7.15. Tergesa berangkat karena pagi itu dia bangun kesiangan karena sialnya, dia lupa hari itu ada kelas pagi. Azzam duduk memangku tas laptopnya. Tak sempat sarapan atau sekedar minum air putih sebelum berangkat, Azzam memanggil pemuda tanggung penjual air minum itu. Ketika memilih minuman dingin jualannya, pemuda itu duduk di bangku kosong samping Azzam. Pemuda itu menyeka wajahnya dengan tangan kurusnya. Wajahnya pucat dan terlihat lelah. Padahal ini masih pagi, pikir Azzam.
Azzam memperhatikan pemuda itu dengan seksama. Ada perasaan aneh menyelimutinya saat memandang pemuda itu, sebuah daya tarik si pemuda untuk mengenalnya lebih jauh. Pandangannya terpaut pada celana biru yang dikenakan si pemuda. Khas celana seragam SMP.
"Kamu ga sekolah?" Tanya Azzam sambil menyeruput kopi dingin kemasan dalam gelas.
"Sekolah kak, cuma masuk siang." Ujarnya sambil merapikan dangangan, air minum jualannya, yang diacak Azzam tadi.
"Masih SMP ya? Kelas berapa? Oia, ini harganya berapa?" Azzam menunjuk kopi gelasnya.
"Kelas 3 SMP kak. Harganya seribu kak." Jawabnya tersenyum. "Kakak kuliah? Atau kerja?" Tanyanya balik.
"Iya, saya kuliah. Saya turun abis stasiun UP. Siap-siap dulu turun ya." Matanya menangkap tulisan 'Stasuin Universitas Indonesia' dan bersiap turun seraya memberikan uang Rp.5000 ke pemuda itu. "Ambil aja kembalinya."
"Tapi kak ini kebanyakan." Terlambat, Azzam sudah menginjakkan kaki ke peron stasiun. "Makasih banyak ya kak." Teriaknya di depan pintu begitu kereta kembali melaju menuju stasiun Pondok Cina.
***
Pagi itu, Azzam kembali bergegas berangkat ke stasiun. Tak seperti pagi sebelumnya, kereta jurusan Bogor tidak selenggang bisanya. Mungkin kereta terlambat lagi. Bukan hal yang aneh kereta Jabotabek ngaret. Yah, biarpun tidak sepenuh kereta jurusan Tanah Abang maupun Kota, sial bagi Azzam yang pagi itu membawa laptop jadulnya yang besar harus berdiri sepanjang Tebet-Depok.
Pedangang asongan sudah ramai juga pagi itu mengais rezeki ditengah keramaian penumpang. Azzam menangkap sosok dibalik pedagang casing handphone. Sosok yang belakangan sering dia temui di kereta tiap pagi dan malam hari. Sosok yang beberapa hari lalu menjual minuman dingin, terlihat menggenggam tumpukan koran.
Azzam menepuk pundak sang pemuda. "Dek, korannya dong, Republika."
"Eeh, kakak. Kuliah pagi?" Sahutnya. Tangannya cekatan mengambil Republika dari beberapa koran lainnya.
"Iya nih. Eh, nanti malem kamu ngasong lagi? Kebetulan kakak pulang malam." Azzam merogoh kantong dan memberi beberapa lembar ribuan padanya. "Ambil kembaliannya aja dek, cuma 500 ini."
"Iya kak, makasih ya. Saya jalan dulu ya kak."
"Kali ini harus bisa." Gumam Azzam. Sejak beberapa hari silam Azzam memang berniat untuk mengobrol lebih banyak dengan si pemuda. Setidaknya sekedar ngopi atau makan malam di warteg di bilangan Lenteng Agung. Sialnya, beberapa hari itu ujian telah menyita banyak waktunya.
***
Pemuda itu tersenyum. "Izzuddin Al-Qassam." Tangan kurusnya menggenggam tangan Azzam.
Warteg malam itu tampak begitu ramai. Seramai Azzam mengenal teman barunya. Izzuddin Al-Qassam. Subhanallah, begitu indah namanya, batin Azzam. Bukan, bukan karena nama pemuda itu mirip dengan adik bungsunya. Bahkan, sebelum berkenalan malam itu, Azzam sudah tertarik mengenal Izzuddin lebih dalam. Entah kenapa.
Makan malam itu usai. Tak terasa sudah hampir sejam mereka di warteg pinggir jalan itu. Azzam bergegas membayar makan itu untuk dua porsi, sebelum Izzuddin mengeluarkan uangnya. Dia tak mau Izzuddin membayar sepeserpun. Meskipun Azzam sudah mengatakan untuk mentraktir, Izzuddin bersikeras membayarnya.
"Kak, bisa istirahat sebentar ga?" Wajahnya pucat, tangannya kaku, tapi tetap berusaha tenang. Mungkin Izzuddin berharap Azzam tidak panik melihat kondisinya.
"Kenapa dek?" Tersirat kepanikan dari wajahnya melihat Izzuddin tak bergerak. Lebih tepatnya tangannya kaku sama sekali.
"Ga ada apa-apa sih kak. Kita ngobrol dulu aja sambil pesen kopi lagi. Saya pengen ngobrol banyak sama kakak." Izzuddin memaksakan diri tetap tersenyum. Azzam tahu pasti Izzuddin menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi, Azzam tak mendesak Izzuddin untuk bercerita. Setidaknya, jika waktunya tepat, Izzuddin akan bercerita dengan sendirinya.
Mereka bercerita sepanjang malam itu. Azzam tahu Izzuddin tinggal di daerah Lenteng Agung bersama orang tuanya. Kedua orang tuanya berasal dari Kendari, Sulawesi dan merantau sejak Izzuddin belum lahir. Bapaknya kerja serabutan, ibunya kuli cuci, dia sendiri pedagang asongan. Harusnya, di usianya sekarang pendidikan sangat penting, apalagi dia menjelang ujian nasional, penentu kelulusannya. Pasti kegiatannya bekerja saat ini mengganggu pelajarannya, pikir Azzam. Tolak ukurnya adalah dirinya sendiri saat menghadapi UAS. Azzam pasti meninggalkan segala kegiatan organisasinya sebelum menghadapi ujian.
Azzam dan Izzuddin makin akrab dari waktu ke waktu. Mereka kerap kali mengobrol membahas segala hal. Meski begitu, sifat sungkan Izzuddin belum juga berubah.
Di warteg saat pertama kalinya mereka berkenalan secara resmi, terdapat dua pemuda beda usia di dalamnya. Tertawa. Pemuda kurus yang tampak pucat itu menyembunyikan rona kelelahan dari wajahnya.
Bruk. Tubuh kurus itu jatuh lunglai di hadapan Azzam. Azzam panik, memanggil ibu penjual warteg meminta minyak angin. Tak juga sadar, bergegas dia bopong tubuh Izzuddin keluar warteg dan menghentikan angkot yang lewat. Izzuddin pingsan. Azzam meminta segera suppir angkot membawanya ke rumah sakit. Beberapa menit mereka menuju angkot, Izzuddin mulai siuman. Tubuhnya masih lemah, tapi masih bisa mengucapkan beberapa kata pada Azzam.
"Ga usah ke Rumah Sakit, kak. Percuma. Udah ga bisa ditolong lagi." Ujarnya lemah.
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar