18 Februari 2013

Imam

Suatu sore, ketika waktu menunjukkan waktu Ashar, saya menghampiri seorang pria. Saya menyebutnya Mas M.

Saya: "Mas M, mau ngimamin saya ga? Kalo mau, saya tunggu ya."
Mas M: Melepaskan pandangan dari laptopnya. "Eh, serius mau diimamin saya?" Ujarnya kaget.
Saya: "Iya mas, mau kan?"
Mas M: "Waduh, bukannya ga mau..." Mas M memutar kursi kerjanya tepat menghadap saya. "Tapi, saya kan sudah beristri."
Gubrakk *layaknya kartun doraemon, jatuh karena kaget ceritanya*
Saya: "Haduh mas, maksudnya jadi imam sholat Ashar."
Mas M: "Ha?? Salah sangka dong saya."
Saya: @#$#%^&

14 Februari 2013

Wedding Songs part 1

Di suatu malam, D dan saya asik berbincang-bincang di telepon.

D: "Coba dicek catetan kamu dan tandai mana yang belum dan yang udah rampung."
Saya: Baca catetan wedding calendar dan mencatat satu persatu dari list yang sudah saya buat.
.
.
.
Saya: "Pesan entertainer dan lagu untuk resepsi. Belum. List wedding songs-nya kamu aja yang bikin ya." Saya menyadari kekurang-update-an saya sama lagu-lagu makanya menyerahkan ke D soal list ini.
D: "Ummi dan Ayah aja deh lagunya."
Saya: Shock. "What? Endang Estorina dan kawan kawannya dong? Haduh, acara kita itu kebanyakan dari temen-temen kita, bukan orang-orang tua temennya Ummi dan Ayah, Masa dikasih lagu begituan? Lagian yang nikah kita, bisa dikira orang jadul jaman baheula kalo dikasih lagu begituan."
D: "Yakin aku aja yang milih lagunya nih?"
Saya: Berpikir sejenak dan flash back setahun yang lalu.

11 Februari 2013

Anak Kereta (Part Final)

Aku melirik jam dinding di ruang tamu. Pukul 00.17 menit. Ummi tampak gusar Azzam belum pulang. Aku duduk di kursi ruang tamu sambil meneguk air mineral. Aku menemani Ummi malam itu menunggu Azzam pulang. Sejak dia 'dipinjami' motor, dia memang sering pulang larut. Sebelumnya, Azzam selalu mengeluh dengan aktifitasnya yang lumayan padat. Kuliah dan kegiatan organisasinya. Belum lagi bulan depan dia mulai magang untuk tugas kuliah di bilangan Jalan Raya Bogor.

"Dikasih motor bukan pulang lebih awal malah pulang malem terus." Omel Ummi.

Tak lama, suara motor khas matic yang menderu keras berhenti di depan rumah. Itu pasti Azzam, batinku. Ummi mengintip dari balik gorden memastikan dia benar anak keempatnya.

"Aku cape Mi, abis besuk temen yang sakit. Ko,, kondisinya parah, masuk Rumah Sakit." Sahutnya setelah Ummi mulai 'berceramah'. Dia memang agak sedikit gagap di saat tertentu; seperti tertekan, gugup, emosi, dan lelah.

Sejak kedua amandel Azzam dioperasi, dia sering gagap jika berbicara. Ditambah lagi dia mengalami flu berkepanjangan yang tak pernah sembuh. Seperti selalu ada lendir di selaput hidungnya, kisahnya suatu kali. Soal daya tahan tubuh, sudah pasti lemah. Ga jarang di drop karena lelah.


***

"Azzam ga pacaran Mi. Sejak Ummi ngelarang Azzam pacaran, Azzam dan dia putus. Azzam janji ke dia kalo udah kerja mau kumpulin uang untuk segera nikah sama dia. Tapi saat ini Azzam butuh dia untuk suatu hal. Azzam bisa jamin kalo Azzam dan dia ga ada hubungan apapun." Jelasnya. Matanya merah menahan amarah yang akan meledak.

"Mi, diluar sana ada orang yang butuh Azzam. Azzam cuma minta ga dicurigai macem-macem aja." Air matanya mulai menetes. Aku tahu ada beban yang tak kumengerti yang dia pikul. Sepertinya dia tak ingin membaginya dengan siapapun. Termasuk keluarganya.


***

Pelan tapi pasti Ummi bisa mendapatkan banyak informasi dari Azzam. Kemana dia selama ini dan apa yang dia kerjakan. Berawal dari pertemuan singkatnya dengan seorang pedagang. Berakhir dengan terpukulnya Azzam kehilangan sahabat barunya itu.

Izzuddin Al-Qassam yang aku yakin sudah tenang di alam sana. Yang bisa jadi pelajaran hidup yang sangat berarti untuk Azzam. Seorang anak mandiri yang cukup berprestasi. Anak pengidap tumor otak yang memiliki masalah dengan syaraf motoriknya. Hidup di tengah keluarga dengan kemampuan ekonomi jauh dibawah tingkat menengah. Anak tunggal yang tak pernah menyusahkan orang tua dikala penyakitnya kambuh, kerap memilih mengurung diri di kamar dan menutup mulutnya dari erangan sakitnya.

Terakhir kali Azzam mendengar kabar dari temannya sesama pedagang asongan bahwa Izzuddin sudah bekerja selepas SMP. Tak lama dia bekerja, dia mengalami koma yang cukup lama. Sendirian Azzam mengurus surat keringanan untuk rumah sakit. Membesarkan hati orang tua yang banting tulang mencari biaya rawat inap sang buah hati.


***

Malam hari, sepulang kerja magangnya, Azzam memacu Mio-nya ke Cakung. Bertemu dengan seseorang anggota perkumpulan underground yang kerap melakukan touring. Azzam memang sudah beberapa bulan sejak menunggangi Mio ikut bersama sebuah perkumpulan tersebut. Adikku ini memang supel, jadi tak heran dia memiliki banyak teman.

Tujuan Azzam kali ini tentu saja bukan untuk touring. Untuk meminjam uang demi biaya pengobatan sabatnya yang lain.

Azzam kembali mendatangi orang tua dari mantan pacarnya. Niatnya kali ini bukan untuk ngapel. Untuk minta pekerjaan. Si Bapak merupakan seorang tukang parkir di bilangan Kemang. Jelas penghasilannya jadi terbagi dua demi membantu Azzam mendapat pekerjaan untuk membayar hutangnya.

Terakhir ketika dia kembali ke rumah orang tua Izzuddin, mereka sudah pindah ke Kendari. Menitip pesan ke tetangga jika Azzam kembali, minta maaf atas hutang mereka untuk biaya pengobatan Izzuddin. Mereka tidak punya telepon selular sehingga kesulitan menghubungi Azzam. Mereka berjanji untuk membayar hutang ketika sudah mampu untuk membayarnya.


***

Air mata mulai menggantung di pelupuk mata. Salahku memandang Azzam sebelah mata. Salahku tak peka dia sudah banyak berubah. Kepergian Izzuddin telah menjadikannya lebih dewasa dengan tak lagi banyak merengek dan menuntut banyak hal.

"Hutangku tinggal 1,5 juta lagi. Temen yang ngasih pinjeman duit itu udah mengikhlaskan 600 ribu. Jadi, sisa 900 ribu lagi. Alhamdulillah deh." Dia mengakhiri cerita Izzuddin Al-Qassam malam itu.

Aku meraih dompet cokelatku. Memberi beberapa lembar uang lima puluh ribu. Bermaksud meringankan beban hutangnya. Dia mengambil 2 lembar seraya berkata,

"Anggep aja ini upahku nganter kakak sebulan. Ingetin Azzam tiap pagi ya buat nganter. Kalo jemput sore lewat dari maghrib ga bisa, karena ba'da maghrib harus ke depok ngerjain TA."

Sejak itu Azzam jadi 'ojeg' pribadi saya. Dan saya salut sama dia. Setelah terima uang dari saya, Azzam bener-bener komitmen mengantar saya kemanapun. Bahkan ketika dia pusing karena kehujanan. Tapi, karena saya ga tega, saya berangkat naik kopaja, as usual :)

Anak Kereta (Part 2)

Azzam menatap dalam wajah keluarga kecil itu. Rumah mungil mereka bagai surga buat mereka membina keluarga utuh seperti keluarga lainnya. Sekilas tidak ada yang berbeda dari keluarga ini dengan keluarga 'normal' lainnya.

"Tumor otak nak. Rahim Ibu bermasalah ketika Izzuddin dalam kandungan. Kata dokter itu penyebabnya. Setelah Izzuddin lahir, rahim ibu diangkat. Itu kenapa Izzuddin jadi anak tunggal kami. Kami sudah berobat ke banyak tempat. Operasipun hampir percuma. Selain biaya yang mahal, operasipun ga bisa menyembuhkan Izzuddin sepenuhnya." Cerita ibunya.

"Mengenai tubuh saya yang tiba-tiba kram, bahkan kaku tiba-tiba. Sewaktu kecil saya pernah terjatuh, sehingga merusak salah satu syaraf motorik saya. Makanya, sewaktu-waktu bagian tubuh saya bisa kaku mendadak. Seperti patung, sulit bergerak dan berat rasanya." Izzuddin masih terbaring lemah di tempat tidurnya. "Makanya kak, kalo kakak liat saya tiba-tiba pingsan, ga usah dibawa ke Rumah Sakit. Ke rumah aja." Lanjutnya.

Masih lekat kata-kata keluarga kecil itu mengenai kondisi Izzuddin. Anak baik yang cukup berprestasi. Memang tidak juara kelas, tapi untuk anak yang bekerja disela waktu belajarnya, Azzam salut. Beberapa kali Azzam melihat Izzuddin jatuh pingsan. Tubuhnya makin kurus digerogoti penyakit. Ingin rasanya membantu. Tapi, bagi Azzam yang masih kuliah dan makan dari kantong orang tua, bisa apa? Azzam mengumpat membodohi diri sendiri. Kondisi dia yang terbilang cukup, masih banyak menuntut dari orang tua. Diluar sana, masih banyak orang yang kekurangan, bekerja demi kelangsungan hidup di usia yang masih muda, setidaknya Izzuddin.

Izzuddin berpesan ke Azzam untuk tidak memberi tahu kondisinya ke orang lain ketika Azzam menawarkan bantuan melalui dinas sosial di kampusnya. Tapi Izzuddin bersikeras.

Pikirannya menerawang jauh di atas motor maticnya. Sejak dia dipinjami motor oleh Ummi, tak pernah sekalipun bertemu Izzuddin. Kuliah dan mata kuliah kerja prakteknya banyak menyita waktunya. Sampai ketika dia teringat Izzuddin, Azzam kembali naik kereta pagi. Berharap bertemu Izzuddin lagi pagi itu. Tapi, ketika malam menjelang, Izzuddinpun tak terlihat.

Azzam yakin Izzuddin sudah lulus dari SMPnya. Masa Ujian Nasional sudah lewat. Pasti anak sepintar Izzuddin lulus dengan hasil yang memuaskan. Setidaknya hanya luluslah yang Izzuddin harap.

"Aku ga punya cita-cita kak. Ga berani bercita-cita. Aku tahu kemampuan ekonomi keluargaku. Aku mau lulus SMP, kerja di tempat yang layak dengan gaji yang lebih baik dari penghasilan ngasong." Cerita Izzuddin suatu waktu ketika Azzam bertanya tentang cita-cita. Mungkin Izzuddin saat ini sudah mendapat pekerjaan yang layak dengan ijazah SMPnya.

***

Azzam memacu laju motornya menyusuri jalan Lenteng Agung. Sudah lama ia ingin bertemu Izzuddin. Rindu. Lagi-lagi ada perasaan aneh yang menghinggapinya. Perasaan yang lebih dalam daripada saat pertama kali mata Azzam mendapati tubuh kurus Izzuddin di kereta pagi.

"Assalamu'alaikum." Sapa Azzam di pintu masuk sebuah rumah mungil dengan cat yang sudah memudar. Seorang bapak yang sudah tak asing bagi Azzam mempersilahkan masuk dan mengantarnya ke sebuah kasur tipis.

Sesosok tubuh kurus tergeletak diatasnya. Kondisinya parah. Tubuhnya kurus seperti tulang yang berbalut kulit saja. Izzuddin koma. Nafasnya masih ada tapi panca inderanya seperti tak berfungsi. Bibirnya tersenyum saat Azzam datang. Matanya mengeluarkan butiran air ketika Azzam mengaji di dekatnya.


***

"Surat miskin ini hanya bisa membantu menggratiskan biaya operasi dan obat saja nak Azzam. Tapi rawat inap dan kebutuhan lainnya tidak ditanggung. Bapak tidak punya uang sebanyak itu." Bapak tampak tegar. Tapi Azzam tahu bebannya berat. Izzuddin anak semata wayangnya, satu-satunya generasi penerus beliau.

Tujuh juta lagi, kemana harus mencari? Azzam berfikir keras. Ummi dan ayah baru-baru ini mengeluarkan banyak uang untuk kuliahnya. Jumlahnya tidak sedikit. Kakak-kakaknya juga dia yakin tidak punya uang sebanyak itu.

Dia termenung di bangku rumah sakit. Bapak sudah pasti berusaha mencari pinjaman sebanyak itu. Kurang dari setengah biaya rumah sakit yang bisa dia dapat. Tujuh juta sisanya. Baru-baru ini dia kecopetan. Handphonenya hilang. Tidak ada satupun nomor yang bisa dia hubungi untuk membantu.

Teringat dia pada sesosok pria. Anak underground. Azzam yang supel bisa berbaur dengan kelompok itu sempat beberapa kali ikut touring. Azzam hanya bisa berharap darinya. Soal bagaimana mahasiswa kerja praktek itu mengganti, urusan belakangan. Nyawa Izzuddin prioritas buatnya.

***

Hari itu Izzuddin menghembuskan nafas terakhirnya. Bapak dan Ibu terpukul tapi mereka cukup tegar kehilangan anak semata wayangnya.

Sepulang dari pemakaman, tampak berat beban Bapak. Kehilangan anak semata wayang dan menumpuk banyak hutang. Yang bisa Azzam lakukan hanya membesarkan hati Bapak untuk tak memikirkan hutang. Azzam sudah menyicil beberapa rupiah untuk membayar banyak hutangnya.

Malam itu, Azzam memacu motornya menuju bilangan Kemang. Memarkir motor maticnya dan mengganti baju kokonya dengan seragam biru. Siap dengan peluit nyaringnya. Menjalani realita dan kerasnya kehidupan menjadi tukang parkir. Cukup menangisi Izzuddin. Berdoa yang terbaik untuknya.


Nb: Kisah nyata pertemuan adik saya dengan seorang anak di kereta bernama Izzuddin Al-Qassam. 

Anak Kereta (Part 1)

"Aqua, Mijon, Fanta, Cola." Teriak seorang pemuda tanggung dengan kaus lusuhnya. Pagi itu kereta jurusan Jakarta - Bogor tampak lengang. Arah sebaliknya terlihat penumpang berdesakan hingga beberapa orang duduk di atas gerbong, hari kerja memang selalu seperti itu.

Beruntung Azzam, mahasiswa tingkat dua itu dapat kereta pukul 7.15. Tergesa berangkat karena pagi itu dia bangun kesiangan karena sialnya, dia lupa hari itu ada kelas pagi. Azzam duduk memangku tas laptopnya. Tak sempat sarapan atau sekedar minum air putih sebelum berangkat, Azzam memanggil pemuda tanggung penjual air minum itu. Ketika memilih minuman dingin jualannya, pemuda itu duduk di bangku kosong samping Azzam. Pemuda itu menyeka wajahnya dengan tangan kurusnya. Wajahnya pucat dan terlihat lelah. Padahal ini masih pagi, pikir Azzam.

Azzam memperhatikan pemuda itu dengan seksama. Ada perasaan aneh menyelimutinya saat memandang pemuda itu, sebuah daya tarik si pemuda untuk mengenalnya lebih jauh. Pandangannya terpaut pada celana biru yang dikenakan si pemuda. Khas celana seragam SMP.

"Kamu ga sekolah?" Tanya Azzam sambil menyeruput kopi dingin kemasan dalam gelas.
"Sekolah kak, cuma masuk siang." Ujarnya sambil merapikan dangangan, air minum jualannya, yang diacak Azzam tadi.
"Masih SMP ya? Kelas berapa? Oia, ini harganya berapa?" Azzam menunjuk kopi gelasnya.
"Kelas 3 SMP kak. Harganya seribu kak." Jawabnya tersenyum. "Kakak kuliah? Atau kerja?" Tanyanya balik.
"Iya, saya kuliah. Saya turun abis stasiun UP. Siap-siap dulu turun ya." Matanya menangkap tulisan 'Stasuin Universitas Indonesia' dan bersiap turun seraya memberikan uang Rp.5000 ke pemuda itu. "Ambil aja kembalinya."
"Tapi kak ini kebanyakan." Terlambat, Azzam sudah menginjakkan kaki ke peron stasiun. "Makasih banyak ya kak." Teriaknya di depan pintu begitu kereta kembali melaju menuju stasiun Pondok Cina.


 ***

Pagi itu, Azzam kembali bergegas berangkat ke stasiun. Tak seperti pagi sebelumnya, kereta jurusan Bogor tidak selenggang bisanya. Mungkin kereta terlambat lagi. Bukan hal yang aneh kereta Jabotabek ngaret. Yah, biarpun tidak sepenuh kereta jurusan Tanah Abang maupun Kota, sial bagi Azzam yang pagi itu membawa laptop jadulnya yang besar harus berdiri sepanjang Tebet-Depok.

Pedangang asongan sudah ramai juga pagi itu mengais rezeki ditengah keramaian penumpang. Azzam menangkap sosok dibalik pedagang casing handphone. Sosok yang belakangan sering dia temui di kereta tiap pagi dan malam hari. Sosok yang beberapa hari lalu menjual minuman dingin, terlihat menggenggam tumpukan koran.

Azzam menepuk pundak sang pemuda. "Dek, korannya dong, Republika."
"Eeh, kakak. Kuliah pagi?" Sahutnya. Tangannya cekatan mengambil Republika dari beberapa koran lainnya.
"Iya nih. Eh, nanti malem kamu ngasong lagi? Kebetulan kakak pulang malam." Azzam merogoh kantong dan memberi beberapa lembar ribuan padanya. "Ambil kembaliannya aja dek, cuma 500 ini."
"Iya kak, makasih ya. Saya jalan dulu ya kak."

"Kali ini harus bisa." Gumam Azzam. Sejak beberapa hari silam Azzam memang berniat untuk mengobrol lebih banyak dengan si pemuda. Setidaknya sekedar ngopi atau makan malam di warteg di bilangan Lenteng Agung. Sialnya, beberapa hari itu ujian telah menyita banyak waktunya.


 ***

Pemuda itu tersenyum. "Izzuddin Al-Qassam." Tangan kurusnya menggenggam tangan Azzam.

Warteg malam itu tampak begitu ramai. Seramai Azzam mengenal teman barunya. Izzuddin Al-Qassam. Subhanallah, begitu indah namanya, batin Azzam. Bukan, bukan karena nama pemuda itu mirip dengan adik bungsunya. Bahkan, sebelum berkenalan malam itu, Azzam sudah tertarik mengenal Izzuddin lebih dalam. Entah kenapa.

Makan malam itu usai. Tak terasa sudah hampir sejam mereka di warteg pinggir jalan itu. Azzam bergegas membayar makan itu untuk dua porsi, sebelum Izzuddin mengeluarkan uangnya. Dia tak mau Izzuddin membayar sepeserpun. Meskipun Azzam sudah mengatakan untuk mentraktir, Izzuddin bersikeras membayarnya.

"Kak, bisa istirahat sebentar ga?" Wajahnya pucat, tangannya kaku, tapi tetap berusaha tenang. Mungkin Izzuddin berharap Azzam tidak panik melihat kondisinya.
"Kenapa dek?" Tersirat kepanikan dari wajahnya melihat Izzuddin tak bergerak. Lebih tepatnya tangannya kaku sama sekali.
"Ga ada apa-apa sih kak. Kita ngobrol dulu aja sambil pesen kopi lagi. Saya pengen ngobrol banyak sama kakak." Izzuddin memaksakan diri tetap tersenyum. Azzam tahu pasti Izzuddin menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi, Azzam tak mendesak Izzuddin untuk bercerita. Setidaknya, jika waktunya tepat, Izzuddin akan bercerita dengan sendirinya.

Mereka bercerita sepanjang malam itu. Azzam tahu Izzuddin tinggal di daerah Lenteng Agung bersama orang tuanya. Kedua orang tuanya berasal dari Kendari, Sulawesi dan merantau sejak Izzuddin belum lahir. Bapaknya kerja serabutan, ibunya kuli cuci, dia sendiri pedagang asongan. Harusnya, di usianya sekarang pendidikan sangat penting, apalagi dia menjelang ujian nasional, penentu kelulusannya. Pasti kegiatannya bekerja saat ini mengganggu pelajarannya, pikir Azzam. Tolak ukurnya adalah dirinya sendiri saat menghadapi UAS. Azzam pasti meninggalkan segala kegiatan organisasinya sebelum menghadapi ujian.

Azzam dan Izzuddin makin akrab dari waktu ke waktu. Mereka kerap kali mengobrol membahas segala hal. Meski begitu, sifat sungkan Izzuddin belum juga berubah.

Di warteg saat pertama kalinya mereka berkenalan secara resmi, terdapat dua pemuda beda usia di dalamnya. Tertawa. Pemuda kurus yang tampak pucat itu menyembunyikan rona kelelahan dari wajahnya.

Bruk. Tubuh kurus itu jatuh lunglai di hadapan Azzam. Azzam panik, memanggil ibu penjual warteg meminta minyak angin. Tak juga sadar, bergegas dia bopong tubuh Izzuddin keluar warteg dan menghentikan angkot yang lewat. Izzuddin pingsan. Azzam meminta segera suppir angkot membawanya ke rumah sakit. Beberapa menit mereka menuju angkot, Izzuddin mulai siuman. Tubuhnya masih lemah, tapi masih bisa mengucapkan beberapa kata pada Azzam.

"Ga usah ke Rumah Sakit, kak. Percuma. Udah ga bisa ditolong lagi." Ujarnya lemah.



-bersambung-

5 Februari 2013

Kekerasan

Tadinya mau kasih judul KDRT. Tapi setelah dipikir-pikir, ga ada hubungannya sama rumah tangga, apalagi rumah yang ada tangganya (bertingkat) *udah ah, jayus :p

 

Lagi hot masalah seleb AR yang dipukulin sama (mantan) pacarnya, EG. Mau itu gosip atau fakta, saya benci banget sama laki yang suka mukulin cewe. Bisa jadi si cowo itu menjunjung emansisapi wanita, yang membuat dia berfikir derajat cewe dan cowo itu sama, jadi mukul ke cewe atau cowo sama aja. Faktanya, cowo 'ringan tangan' kayak gitu rata-rata cupu kalo ngadepin manusia dengan jenis kelamin yang sama (sesama cowo). Cuma bisa berani ngancem cowo lain tapi ga berani tuh maen hantem kayak dia berani nabok cewe. Biasanya modus si cowo 'afgan' ini katanya didasari rasa sayang, takut kehilangan, dsb. Kalo disuruh memposisikan si cewe sebagai ibunya yang ditabok orang, pasti pembelaannya "ibu ga kayak kamu yang susah diatur". Ngehek kan?